Jumat, 14 Juli 2017

Kurikulum 1984



Kurikulum 1984
Karya: Rizki Siddiq Nugraha

Kurikulum 1984

Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1983 menghasilkan produk yang tertuang dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1983 yang mengisyaratkan keputusan politik yang menghendaki perubahan kurikulum dari Kurikulum 1975 ke Kurikulum 1984. Secara umum dasar perubahan Kurikulum 1975 ke Kurikulum 1984, sebagai berikut:
1. Terdapat sejumlah unsur dalam GBHN 1983 yang belum tertampung ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah.
2. Terdapat ketidakserasian antara materi kurikulum berbagai bidang studi dengan kemampuan peserta didik.
3. Terdapat kesenjangan antara program kurikulum dan pelaksanaannya di sekolah.
4. Terlalu padatnya isi kurikulum yang harus diajarkan hampir di setiap jenjang.
5. Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) sebagai bidang pendidikan yang berdiri sendiri mulai dari Tingkat Kanak-kanak (TK) sampai Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA atau SMA pada masa sekarang) termasuk Pendidikan Luar Sekolah (PLS).
6. Pengadaan program studi baru untuk memenuhi kebutuhan perkembangan lapangan kerja.
Kurikulum 1984 banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi humanistik, yang memandang peserta didik sebagai individu yang dapat dan mau aktif mencari sendiri, menjelajah, dan meneliti lingkungannya. Adapun secara umum Kurikulum 1984 memiliki ciri-ciri, sebagai berikut:
1. Berorientasi pada tujuan instruksional. Hal ini didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif.
2. Pendekatan pengajaran berpusat pada peserta didik melalui Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). CBSA merupakan pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor.
3. Materi pelajaran dikemas dengan menggunakan pendekatan spiral. Spiral adalah pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran.
4. Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan. Sebagai penunjang pengertian, alat peraga sebagai media digunakan untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajari.
5. Materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa. Pemberian materi pelajaran berdasarkan tingkat kematangan mental siswa dan penyajian pada jenjang sekolah dasar harus melalui pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak dengan menggunakan pendekatan induktif dari contoh-contoh ke kesimpulan.
6. Menggunakan pendekatan keterampilan proses. Keterampilan proses adalah pendekatan belajar mengajar yang memberi tekanan kepada proses pembentukan keterampilan, memperoleh pengetahuan, dan mengomunikasikan perolehannya.
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta) periode 1984-1992.

Kurikulum 1984
Conny R. Semiawan

Kurikulum 1984 memuat kebijakan, sebagai berikut:
1. Adanya perubahan dalam perangkat mata pelajaran inti. Kurikulum 1984 memiliki 16 mata pelajaran inti, yakni:
a. Agama;
b. Pendidikan Moral Pancasila;
c. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa;
d. Bahasa dan Kesusastraan Indonesia;
e. Geografi Indonesia;
f. Geografi dunia;
g. Ekonomi;
h. Kimia;
i. Fisika;
j. Biologi;
k. Matematika;
l. Bahasa Inggris;
m. Kesenian;
n. Keterampilan;
o. Pendidikan Jasmani dan Olahraga;
p. Sejarah Dunia dan Nasional.
2. Penambahan mata pelajaran pilihan yang sesuai dengan jurusan masing-masing.
3. Perubahan program jurusan. Jika semula pada Kurikulum 1975 terdapat 3 Jurusan di SMA, yaitu IPA, IPS, dan Bahasa, maka dalam Kurikulum 1984 jurusan dinyatakan dalam program A dan B. Program A, terdiri atas:
a. A1, penekanan pada mata pelajaran Fisika.
b. A2, penekanan pada mata pelajaran Biologi.
c. A3, penekanan pada mata pelajaran Ekonomi.
d. A4, penekanan pada mata pelajaran Bahasa dan Budaya.
e. B, penekanan keterampilan kejuruan, tetapi mengingat program B memerlukan sarana sekolah yang cukup, maka program ini untuk sementera ditiadakan.
Di sisi lain pada tahun 1984 pemerintah mencanangkan gerakan wajib belajar enam tahun, yang berarti bahwa semua anak usia sekolah harus menyelesaikan pendidikan minimal sampai dengan tingkat Sekolah Dasar (SD). Untuk menuntaskan hal tersebut, berbagai langkah telah ditempuh, misalnya pendirian sekolah-sekolah baru, gerakan Kejar Paket A, sekolah kecil, dan sekolah terbuka.
Gerakan wajib belajar 6 tahun ini ternyata memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan Pendidikan Luar Biasa (PLB) di Indonesia. Pada masa itu, anak luar biasa tidak mungkin tertampung di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang telah ada. Jumlahnya masih sangat terbatas, letaknya pun sebagian besar berada di kota-kota besar, sedangkan hampir semua pengelolanya yayasan swasta. Untuk mengatasi masalah ini, beberapa langkah penting telah diambil, seperti diperkenalkan bentuk layanan pendidikan yang baru, yaitu Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Berbeda dengan SLB, SDLB menyelenggarakan pendidikan dasar bagi tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa dalam satu sekolah. Melalui dana proyek Inpres, pada tahun 1984 didirikan sebanyak 200 buah SDLB pada 200 kabupaten/kota yang belum memiliki SLB sama sekali. Di sisi lain diresmikan pula sejumlah sekolah umum untuk dapat menerima anak luar biasa, terutama penyandang tunanetra dengan potensi akademik normal. Sekolah ini kemudian disebut sekolah terpadu.
Terlepas dari berbagai pembaharuan yang ditawarkan oleh Kurikulum 1984, terdapat kelebihan dan kekurangan dari Kurikulum 1984, sebagai berikut:
Kelebihan Kurikulum 1984:
1. Kurikulum 1984 memuat materi dan metode yang disebut secara rinci, sehingga guru dan siswa mudah untuk melaksanakannya.
2. Keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar meningkat secara pesat, ditunjukkan melalui peningkatan diri dalam melaksanakan tugas dan keberanian mengemukakan pendapat dalam diskusi kelas.
3. Anak dapat belajar dari pengalaman langsung.
4. Kualitas interaksi antara siswa sangat tinggi, baik intelektual maupun sosial.
Sedangkan kelemahan Kurikulum 1984:
1. Banyak sekolah yang salah menafsirkan metode CBSA dengan menganggap disuksi yang dilakukan menjadikan suasana gaduh di kelas.
2. Guru dan siswa mengalami ketergantungan pada materi dalam suatu buku teks dan metode yang disebut secara rinci, sehingga membentuk guru dan siswa tidak kreatif untuk menentukan metode yang tepat dan memiliki sumber belajar sangat terbatas.
3. Proses pembelajaran hanya didominasi oleh seorang atau sejumlah siswa sehingga ia menolak pendapat siswa lain. Siswa yang pandai akan bertambah pandai sedangkan yang kurang pandai tertinggal.
4. Guru berperan sebagai fasilitator, sehingga prakarsa serta tanggung jawab siswa dalam kegiatan belajar sangat kurang. Hal ini juga mengakibatkan guru kurang komunikatif dengan siswa.
5. Materi pelajaran tidak tuntas dikuasai siswa karena diperlukan waktu yang banyak dalam pembelajaran menggunakan diskusi.

0 comments:

Posting Komentar

popcash