Periodisasi Perkembangan Seni Rupa Anak
menurut Viktor Lowenfeld dan Lambert Brittain
Karya: Rizki Siddiq Nugraha
Pengelompokan periodisasi karya seni rupa anak dimaksudkan agar kita mudah mengenali karakteristik perkembangan anak berdasarkan usianya. Pada pengungkapan gagasan, anak masih memandang gambar sebagai satu ungkapan keseluruhan. Hal ini belum tampak bagian demi bagian secara rinci. Hal yang tampak hanyalah bagian-bagian kecil yang menarik perhatian, terutama yang menyentuh perasaan dan keinginannya.
Viktor Lowenfeld dan Lambert Brittain (1982) dalam bukunya yang berjudul “Creative and Mental Growth” membagi periodisasi perkembangan seni rupa anak, sebagai berikut:
1. Masa coreng-moreng (sribbling period)
Kesenangan membuat goresan telah muncul pada anak-anak usia dua tahun atau bahkan sebelum dua tahun, sejalan dengan perkembangan motorik tangan dan jari anak yang masih menggunakan motorik kasar. Hal ini dapat kita temukan pada anak yang kerap melubangi atau melukai kertas yang digoresnya.
Goresan-goresan yang dibuat anak usia 2-3 tahun belum menggambarkan suatu bentuk obyek. Pada awalnya, coretan hanya mengikuti perkembangan gerak motorik. Biasanya, tahap pertama hanya mampu menghasilkan goresan terbatas, dengan arah vertikal atau horizontal. Hal ini tentunya berkaitan dengan kemampuan motorik anak yang masih menggunakan motorik kasar. Kemudian, pada perkembangan berikutnya penggambaran garis mulai beragam dengan arah yang bervariasi pula. Selain itu, mereka sudah mampu membuat garis melingkar.
Pada periode ini terbagi atas tiga tahap, yakni 1) corengan tidak beraturan, 2) corengan terkendali, dan 3) corengan bernama.
Ciri gambar yang dihasilkan anak pada tahap corengan tidak beraturan adalah bentuk gambar yang sembarang, mencoreng tanpa melihat ke kertas, belum dapat membuat corengan berupa lingkaran dan memiliki semangat yang tinggi.
Corengan terkendali ditandai dengan kemampuan anak menemukan kendali visualnya terhadap coretan yang dibuatnya. Hal ini tercipta dengan telah adanya kerjasama antara koordinasi perkembangan visual dengan perkembangan motorik. Hal ini terbukti dengan adanya pengulangan coretan garis baik yang horizontal, vertikal, lengkung, bahkan lingkaran.
Corengan bernama merupakan tahap akhir masa coreng moreng. Biasanya terjadi menjelang usia 3-4 tahun, sejalan dengan perkembangan bahasanya, anak mulai mengontrol goresannya bahkan telah memberinya nama, misalnya “rumah”, “mobil”, “bola”. Hal ini dapat digunakan oleh orangtua atau guru pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dalam membangkitkan keberanian anak untuk mengemukakan kata-kata tertentu atau pendapat tertentu berdasarkan hal yang digambarkannya.
Anak-anak memiliki jiwa bebas dan ceria. Mereka sangat menyenangi warna-warna cerah, misalnya pada crayon. Kesenangan menggunakan warna biasanya setelah ia bisa memberikan judul terhadap karya yang dibuatnya. Penggunaan warna pada masa ini lebih menekankan pada penguasaan teknik mekanik penempatan warna berdasarkan kepraktisan penempatannya dibandingkan dengan kepentingan aspek emosi.
Pada masa mencoreng, bila anak difasilitasi oleh orang tua, maka akan memiliki peluang untuk melakukan kreasi dalam hal garis dan bentuk, mengembangkan koordinasi gerak, dan mulai menyadari ada hubungan antara gambar dengan lingkungannya. Hal yang paling penting yang harus dilakukan oleh orangtua dan guru pada masa ini adalah dengan memberi perhatian terhadap karya yang sedang dibuat anak, sehingga tercipta kemampuan komunikasi anak dengan orang dewasa melalui bahasa visual.
2. Masa pra-bagan (pre schematic period)
Usia anak pada tahap ini biasanya berada pada jenjang PAUD dan Sekolah Dasar (SD) kelas awal. Kecenderungan umum pada tahap ini, obyek yang digambar anak biasanya berupa gambar kepala-berkaki. Sebuah lingkaran yang menggambarkan kepala, kemudian pada bagian bawahnya ada dua garis sebagai pengganti kedua kaki.
Ciri-ciri yang menarik lainnya, pada tahap ini anak telah menggunakan bentuk-bentuk dasar geometris untuk memberi kesan obyek dari dunia sekitarnya. Koordinasi tangan lebih berkembang. Aspek warna belum ada hubungan tertentu dengan obyek, orang bisa saja berwarna biru, merah, coklat, atau warna lain yang anak kehendaki.
Penempatan dan ukuran obyek bersifat subyektif, didasarkan kepada kepentingannya. Jika obyek gambar lebih dikenalinya, seperti ayah dan ibu, maka gambar dibuat lebih besar dari yang lainnya. Hal ini dinamakan dengan perspektif batin. Penempatan obyek dan penguasaan ruang belum dikuasai anak pada usia ini.
3. Masa bagan (schematic period)
Konsep bentuk mulai tampak jelas pada tahap ini. Anak cenderung mengulang bentuk. Gambar masih tetap berkesan datar dan berputar atau rebah. Pada perkembangan selanjutnya kesadaran ruang muncul dengan dibuatnya garis pijak (base line).
Penafsiran ruang bersifat subyektif, tampak pada gambar tembus pandang. Gejala ini disebut dengan idioplastis (gambar terawang, tembus pandang). Misalnya gambar sebuah rumah yang seolah-olah terbuat dari kaca bening, hingga seluruh isi di dalam rumah kelihatan dengan jelas.
Kenyataan tersebut diperkuat oleh pandangan Max Verworm (dalam Zulkifli, 2002, hlm. 45) bahwa “anak menggambar benda-benda menurut apa yang dilihatnya. Hasil karya anak-anak itu disebut gambar fisioplastik”. Anak yang belum berumur 8 tahun belum mampu menggambar apa yang dilihatnya tetapi mereka menggambar menurut apa yang sedang di pikirannya. Hasil karya mereka itu disebut gambar ideoplastik.
Pada masa ini juga terkadang dalam satu bidang gambar dilukiskan berbagai peristiwa yang berlainan waktu. Hal ini dalam tinjauan budaya dinamakan continous narrative, anak sudah bisa memahami ruang dan waktu.
4. Masa realisme awal (early realism)
Pada masa periode awal, karya anak lebih menyerupai kenyataan. Kesadaran perspektif mulai muncul, namun berdasarkan penglihatan sendiri. Mereka menyatukan obyek dalam lingkungan. Selain itu, kesadaran untuk berkelompok dengan teman sebaya dialami pada masa ini. Perhatian kepada obyek sudah mulai rinci. Namun demikian, dalam menggambarkan obyek, proporsi (perbandingan ukuran) belum dikuasai sepenuhnya.
Pemahaman warna mulai disadari.Warna biru langit berbeda dengan biru air laut. Penguasaan konsep ruang mulai dikenal, sehingga letak obyek tidak lagi bertumpu pada garis dasar, melainkan pada bidang dasar sehingga mulai ditemukan garis horizon. Selain dikenalnya warna dan ruang, penguasaan unsur desain seperti keseimbangan dan irama mulai dikenal pada periode ini.
Terdapat pula perbedaan kesenangan umum, misalnya anak laki-laki lebih senang menggambar kendaraan, sedangkan anak perempuan lebih senang menggambar boneka atau bunga.
5. Masa naturalisme semu
Pada masa ini, kemampuan berpikir abstrak serta kesadaran sosial semakin berkembang. Perhatian kepada seni mulai kritis, bahkan terhadap karyanya sendiri. Pengamatan kepada obyek lebih rinci. Tampak jelas perbedaan anak-anak bertipe haptic dengan tipe visual. Tipe visual memperlihatkan kesadaran rasa ruang, rasa jarak, dan lingkungan dengan fokus pada hal-hal yang menarik perhatiannya.
Penguasaan rasa perbandingan (proporsi) serta gerak tubuh obyek lebih meningkat. Tipe haptic memperlihatkan tanggapan keruangan dan obyek secara subyektif, lebih banyak menggunakan perasaannya. Gambar-gambar gaya kartun banyak digemari.
Ada sesuatu yang unik pada masa ini, di mana pada satu sisi anak, ekspresi kreatifnya sedang muncul sementara kemampuan intelektualnya berkembang dengan sangat pesat. Sebagai akibatnya, rasio anak seakan-akan menjadi penghambat dalam proses berkarya. Anak ingin menggambar kucing, sementara kemampuan menggambar kucing masih kurang. Sebagai akibatnya mereka malu kalau memperlihatkan karyanya kepada sesamanya.
6. Periode penentuan
Pada periode ini tumbuh kesadaran akan kemampuan diri. Perbedaan tipe individual makin tampak. Anak yang berbakat cenderung akan melanjutkan kegiatannya dengan rasa senang, tetapi yang merasa tidak berbakat akan meninggalkan kegiatan seni rupa, terlebih apabila tanpa bimbingan. Di dalam hal ini peran guru banyak menentukan, terutama dalam meyakinkan bahwa keterlibatan manusia dengan seni akan berlangsung terus-menerus dalam kehidupan. Seni bukan urusan seniman saja, tetapi urusan semua orang dan siapa pun tidak akan terhindar dari sentuhan seni dalam kehidupan sehari-hari.
Referensi
Lowenfeld, V., & Brittain, L. (1982). Creative and Mental Growth. New York: Maemillan.
Zulkifli, L. (2002). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
0 comments:
Posting Komentar