Dalam sistem pembayaran oline baik menggunkan kartu kredit,n internet banking, maupun digital cash masing-masing memiliki sisi kelemahan. Berdasarkan pengalaman saya, kelemahan terbesar dari metode pembayaran secara online ternyata bukan pada sistem eletronik yang di gunakan itu sendiri, melainkan pada faktor human atau manusia yang lalai atau tidak hati-hati terhadap penggunaan identitas pribadi.
Perhatikan contoh masing-masing kelemahan dalam sistem pembayaran online yang ada saat ini, sebagai berikut:
Pembayaran dengan menggunakan kartu kredit dalam sistem pembayaran online memiliki salah satu kelemahan yakni kartu kredit dapat digunakan oleh orang yang namanya tidak tercantum dalam kartu.
Contoh apabila kita hendak membeli aplikasi dalam sebuah layanan berbayar, beberapa penyedia layanan di indonesia maupun di luar negri hanya meminta nomor kartu kredit, tanggal expire date, dan nomor card holder verification value (CVV) yakni 3 (tiga) digit angka terakhir pada bagian belakang kartu.
Artinya, meskipun kita bukan sebagai pemilik kartu, apabila informasi minimal tersebut kita ketahui, maka kita bisa melakukan transaksi pembelian aplikasi berbayar. Meskipun mekanime charge back dimungkinkan dalam penggunaan kartu kredit apabila terbukti pemilik tidak melakukan transaksi, namun dalam beberapa kasus, pemilik kartu kredit banyak yang tidak menyadari adanya pemakaian kartu kredit mereka atau mungkin meyadari namun enggan memproses secara hukum permasalahan tersebut.
Pembayaran dengan layanan internet banking dipercaya banyak orang sebagai salah satu cara melakukan pembayaran yang aman. Dari sisi sistemnya saya berpendapat bahwa sistem internet banking relatif aman, namun dalam beberapa modus, kelemahan bertransaksi melalui internet banking justru pada tempat fisik di mana kita melakukan transaksi.
Melakukan transaksi internet banking dengan menggunakan layanan hot spot gratis/berbayar ataupun layanan internet di tempat umum, memungkinkan pelaku kejahatan mengintersepsi transaksi penggunan internet banking.
Tekhik tersebut oleh para penggiat keamanan informasi dinamakan teknik intersepsi dengan cara menempatkan "man in the middle" (intersepsi Sistem Elektronik/Jaringan peranta pada saat korban bertransaksi).
Mekanisme charge back, sepengetahuan saya, tida dikenal dalam internet banking dengan asumsi bahwa semua transksi dilakukan secara sadar oleh nasabah kecuali dapat di buktikan bahwa kesalah terjadi dari sisi bank sebagai penyelenggaran sistem elektronik layanan transaksinoal internet banking (Prinsip praduga bersalah atau presume liablity sesuai UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik/ "UU ITU").
Digital cash pada dasarnya adalah penempatan uang dalam sebuah electronik account berbentuk susunan bit atau karakter (string) dalam beberapa digit yang kemudian dapat digunakan sebagaimana kita memiliki sebuah "voucher".
Nominal "voucher" tersebut kemudian digunakan oleh pemilik untuk melakukan transaksi online.
Dari sisi cara menbayarnya, digital cash mungkin dianggap lebih aman karena risiko hanya pada sebatas nominal "kupon" yang kita punya.
Namun, sekali lagi saya mengingatkan bahwa digital cash hanya sebuah untuk membayar dengan cara mentransfer nilai uang berbentuk elektronik dari satu rekening ke rekening lainya.
Aman atau tidak cara ini, menurut saya, terletak bukan dari sisi cara membayarnya, melaikan lebih menitikberatkan pada sisi keyakinan akan keberanan identitas penerima digital cash tersebut.
Penyedia layanan digital cash tentu tidak akan begitu saja memberikan charge back jika ternyata kalian salah/keliru mengirimkan uang ke penerima karena transaksi tersebut jelas terjadi diluar otoritas penyedia.
Sampai saat ini, saya belum menemukan pengaturan khusus tentang digital cash di indonesia.
Dalam hal barang cacat dalam sebuah transaks online, maka perlakuan transaksi-transaksi tersebut tidak ada bedanya dengan transksaksi yang dilakukan secara nyata.
Prinsip tanggungjawab dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berlaku juga dalam sebuah transaksi jual beli online.
Singkatnya adalah semua hak dan kewajiban konsumen dan hak dan kewajiban pelaku usaha dalam sebuah transaksi online adalah sama sebagaimana transaksi jual beli pada umumnya.
Untuk meminimalisir terjadi sengketa, idealnya sebuah transaksi elekronik dibuatkan sebuah "Perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik".
Transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik bersifat mengikat para pihak (Pasal 18 UU ITE). Sehingga dari sisi hukum, transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik memiliki kekuatan yang sama dengan transaksi pada umumnya (transaksi konvesional).
Berdasarkan pengalaman saya, permasalahan utama dalam transaksi online justru Ketika pelaku usaha melepaskan diri dari tanggjawab, sementara jati diri pelaku dalam transaksi cyber space tidak atau sulit diketahui.
Karena, setidaknya sampai saat ini, belum ada satupun lembaga yang dapat menjamin bahwa pelaku usaha di cyber space adalah pelaku usaha dalam arti yang sebenarnya. Jika hal tersbut terjadi, tentu konsumen yang paling di rugikan. Langkah selanjutnya adalah memproses Permasalahan tersebut berdaskan kententuan pidana.
Jadi, kesimpulanya adalah aman tidaknya kita bertransaksi menggunakan sebuah sistem elektronik lebih banyak bergantung pada kesadaran diri kita sebagai pengguna. Jargon keaman infomasi bahwa "security is you" dan "think before you clik" bisa menjadi pertimbangan kita untuk melakukan transaksi secara aman.
Perhatikan contoh masing-masing kelemahan dalam sistem pembayaran online yang ada saat ini, sebagai berikut:
ilustrasi |
1. Kartu Kredit
Pembayaran dengan menggunakan kartu kredit dalam sistem pembayaran online memiliki salah satu kelemahan yakni kartu kredit dapat digunakan oleh orang yang namanya tidak tercantum dalam kartu.Contoh apabila kita hendak membeli aplikasi dalam sebuah layanan berbayar, beberapa penyedia layanan di indonesia maupun di luar negri hanya meminta nomor kartu kredit, tanggal expire date, dan nomor card holder verification value (CVV) yakni 3 (tiga) digit angka terakhir pada bagian belakang kartu.
Artinya, meskipun kita bukan sebagai pemilik kartu, apabila informasi minimal tersebut kita ketahui, maka kita bisa melakukan transaksi pembelian aplikasi berbayar. Meskipun mekanime charge back dimungkinkan dalam penggunaan kartu kredit apabila terbukti pemilik tidak melakukan transaksi, namun dalam beberapa kasus, pemilik kartu kredit banyak yang tidak menyadari adanya pemakaian kartu kredit mereka atau mungkin meyadari namun enggan memproses secara hukum permasalahan tersebut.
2. Internet Banking (pelayanan jasa bank melalui internet)
Layanan internet banking atau transastional internet banking (internet banking yang bersifat transaksional) yang merupakan bagian dari electonic Banking diatur melalui Peraturan Bank indonesia No. 9/15/PBI/2007 Tahun 2007 tentang Penerapan Managemen Resiko Dalam penggunan Teknologi Informasi oleh Bank Umum.Pembayaran dengan layanan internet banking dipercaya banyak orang sebagai salah satu cara melakukan pembayaran yang aman. Dari sisi sistemnya saya berpendapat bahwa sistem internet banking relatif aman, namun dalam beberapa modus, kelemahan bertransaksi melalui internet banking justru pada tempat fisik di mana kita melakukan transaksi.
Melakukan transaksi internet banking dengan menggunakan layanan hot spot gratis/berbayar ataupun layanan internet di tempat umum, memungkinkan pelaku kejahatan mengintersepsi transaksi penggunan internet banking.
Tekhik tersebut oleh para penggiat keamanan informasi dinamakan teknik intersepsi dengan cara menempatkan "man in the middle" (intersepsi Sistem Elektronik/Jaringan peranta pada saat korban bertransaksi).
Mekanisme charge back, sepengetahuan saya, tida dikenal dalam internet banking dengan asumsi bahwa semua transksi dilakukan secara sadar oleh nasabah kecuali dapat di buktikan bahwa kesalah terjadi dari sisi bank sebagai penyelenggaran sistem elektronik layanan transaksinoal internet banking (Prinsip praduga bersalah atau presume liablity sesuai UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik/ "UU ITU").
3. Electronic Cash
Untuk metode pembayaran dengan digilital cash, jika yang kalian maksud dengan digital cash adalah electronik cash, maka menurut pendapat saya, transaksi online dengan menggunakan digital cash, pada prinsipnya sama dengan transaksi biasa non-online.Digital cash pada dasarnya adalah penempatan uang dalam sebuah electronik account berbentuk susunan bit atau karakter (string) dalam beberapa digit yang kemudian dapat digunakan sebagaimana kita memiliki sebuah "voucher".
Nominal "voucher" tersebut kemudian digunakan oleh pemilik untuk melakukan transaksi online.
Dari sisi cara menbayarnya, digital cash mungkin dianggap lebih aman karena risiko hanya pada sebatas nominal "kupon" yang kita punya.
Namun, sekali lagi saya mengingatkan bahwa digital cash hanya sebuah untuk membayar dengan cara mentransfer nilai uang berbentuk elektronik dari satu rekening ke rekening lainya.
Aman atau tidak cara ini, menurut saya, terletak bukan dari sisi cara membayarnya, melaikan lebih menitikberatkan pada sisi keyakinan akan keberanan identitas penerima digital cash tersebut.
Penyedia layanan digital cash tentu tidak akan begitu saja memberikan charge back jika ternyata kalian salah/keliru mengirimkan uang ke penerima karena transaksi tersebut jelas terjadi diluar otoritas penyedia.
Sampai saat ini, saya belum menemukan pengaturan khusus tentang digital cash di indonesia.
Dalam hal barang cacat dalam sebuah transaks online, maka perlakuan transaksi-transaksi tersebut tidak ada bedanya dengan transksaksi yang dilakukan secara nyata.
Prinsip tanggungjawab dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berlaku juga dalam sebuah transaksi jual beli online.
Singkatnya adalah semua hak dan kewajiban konsumen dan hak dan kewajiban pelaku usaha dalam sebuah transaksi online adalah sama sebagaimana transaksi jual beli pada umumnya.
Untuk meminimalisir terjadi sengketa, idealnya sebuah transaksi elekronik dibuatkan sebuah "Perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik".
Transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik bersifat mengikat para pihak (Pasal 18 UU ITE). Sehingga dari sisi hukum, transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik memiliki kekuatan yang sama dengan transaksi pada umumnya (transaksi konvesional).
Berdasarkan pengalaman saya, permasalahan utama dalam transaksi online justru Ketika pelaku usaha melepaskan diri dari tanggjawab, sementara jati diri pelaku dalam transaksi cyber space tidak atau sulit diketahui.
Karena, setidaknya sampai saat ini, belum ada satupun lembaga yang dapat menjamin bahwa pelaku usaha di cyber space adalah pelaku usaha dalam arti yang sebenarnya. Jika hal tersbut terjadi, tentu konsumen yang paling di rugikan. Langkah selanjutnya adalah memproses Permasalahan tersebut berdaskan kententuan pidana.
Jadi, kesimpulanya adalah aman tidaknya kita bertransaksi menggunakan sebuah sistem elektronik lebih banyak bergantung pada kesadaran diri kita sebagai pengguna. Jargon keaman infomasi bahwa "security is you" dan "think before you clik" bisa menjadi pertimbangan kita untuk melakukan transaksi secara aman.
0 comments:
Posting Komentar