Selasa, 03 Oktober 2017

Model Pembelajaran Pengajuan dan Pemecahan Masalah (JUCAMA)



Model Pembelajaran Pengajuan dan Pemecahan Masalah (JUCAMA)
Karya: Rizki Siddiq Nugraha

Model Pembelajaran Pengajuan dan Pemecahan Masalah (JUCAMA)

Model pembelajaran pengajuan dan pemecahan masalah atau disingkat JUCAMA merupakan “suatu model pembelajaran matematika yang berorientasi pada pemecahan dan pengajuan masalah matematika sebagai fokus pembelajarannya dan menekankan belajar aktif secara mental dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif” (Siswono, 2008, hlm. 60). Model ini didasarkan pada lima teori belajar, yakni (1) Teori Piaget, (2) Teori Vygotski, (3) Teori Bruner, (4) Teori tentang Pemecahan dan Pengajuan Masalah, dan (5) Teori tentang Berpikir Kreatif.
Teori Piaget menjelaskan bahwa pengetahuan berasal dari adaptasi individu pada lingkunganya. Perkembangan intelektual terjadi melalui konstruksi aktif dari pengetahuan yang dimiliki individu. Berdasar pada pandangan ini, maka pembelajaran seharusnya memberi kesempatan siswa mengkonstruksi pengetahuan sendiri berdasar pengetahuan yang berasal dari adaptasinya dengan lingkungan. “Pengajuan masalah memberi kesempatan pada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri berdasarkan pengetahuan yang dimiliki (Siswono, 2008, hlm. 61). Teori Vygotski secara garis besar menjelaskan bahwa perkembangan pengetahuan memerlukan intervensi orang dewasa dalam pemikiran anak. Tanpa mediasi secara simbolik, pemikiran siswa akan berada pada level yang rendah. Anak diberi kesempatan untuk mengembangkan zone of proximal development (ZPD), yakni sebuah kawasan antara tingkat perkembangan aktual sebagaimana ditentukan oleh pemecahan masalah yang independen dan tingkat perkembangan potensial yang ditentukan melalui pemecahan masalah di bawah petunjuk orang dewasa. Berdasar pandangan tersebut, berarti bahwa “tugas pemecahan masalah maupun pengajuan masalah dapat menjadi bentuk intervensi terhadap pemikiran anak sehingga anak mencapai tingkat perkembangan potensial (Siswono, 2008, hlm. 64). Garis besar Teori Bruner (dalam Siswono, 2008, hlm. 64) menjelaskan bahwa “perkembangan intelektual ditandai dengan peningkatan kemampuan seorang individu memisahkan respons-respons dari stimuli yang dekat dan khusus”. Berdasar pandangan tersebut, artinya bahwa pengajuan dan pemecahan masalah dapat dikatakan sebagai stimuli yang akan memicu perkembangan intelektual individu. Kemampuan pengajuan masalah dan pemecahan masalah ini dipengaruhi oleh lingkungan. Siswono (2008, hlm. 69) menjelaskan garis besar teori pengajuan masalah dan pemecahan masalah bahwa “pengajuan dan pemecahan masalah dapat menjadi pendekatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif”. Di mana kemampuan berpikir kreatif diindikasikan dengan kemampuan kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan.
Siswono (2008, hlm. 74) memaparkan sintaks model pembelajaran JUCAMA, pada tabel berikut:
No.
Fase
Aktivitas/Kegiatan Pendidik
1.
Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan peserta didik.
Menjelaskan tujuan, materi prasyarat, memotivasi peserta didik, dan mengaitkan materi pelajaran dengan konteks nyata kehidupan sehari-hari.
2.
Mengorientasikan peserta didik pada masalah dan mengorganisasikannya untuk belajar.
Memberikan masalah yang sesuai tingkat perkembangan anak untuk diselesaikan atau meminta peserta didik mengajukan masalah berdasar informasi ataupun masalah awal. Meminta peserta didik bekerja dalam kelompok atau individual dan mengarahkan peserta didik membantu dan berbagi dengan anggota kelompok atau teman lainnya.
3.
Membimbing penyelesaian secara individual maupun kelompok.
Pendidik membimbing dan mengarahkan belajar secara efektif dan efisien.
4.
Menyajikan hasil penyelesaian pengajuan dan pemecahan masalah.
Pendidik membantu peserta didik dalam merencanakan dan menetapkan suatu kelompok atau seorang peserta didik dalam menyajikan hasil tugasnya.
5.
Memeriksa pemahaman dan memberikan umpan balik sebagai evaluasi.
Memeriksa kemampuan peserta didik dan memberikan umpan balik untuk menerapkan masalah yang dipelajari pada suatu materi lebih lanjut dan pada konteks nyata masalah sehari-hari.

Adapun tujuan instuksional dan tujuan tidak langsung pada model pembelajaran JUCAMA menurut Siswono (2008, hlm. 70), yakni:
Tujuan instuksional:
1. Meningkatkan hasil belajar peserta didik terutama dalam memecahkan masalah, yang berkaitan dengan materi yang dibahas; dan
2. Meningkatkan kemampuan peserta didik dalam berpikir kreatif yang diindikasikan dengan kefasihan, fleksibilitas, maupun kebaruan dalam mengajukan dan memecahkan masalah matematika.
Tujuan tidak langsung:
1. Mengaitkan konsep-konsep matematika yang sudah dipelajari dengan konsep lain dan pengalaman peserta didik sehari-hari;
2. Memusatkan perhatian dan melakukan pengulangan terhadap materi yang sudah dipelajari atau dengan kalimat lain mendorong untuk belajar mandiri; dan
3. Melatih mengomunikasikan ide secara rasional atau bernalar, karena dituntut untuk menjawab masalah secara divergen.
Setiap penggunaan model pembelajaran pastinya memiliki suatu kelebihan maupun kelemahan. Kelebihan model pembelajaran JUCAMA, di antaranya:
1. Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis melalui pemecahan masalah;
2. Mengembangkan kemampuan kognitif dan kreativitas peserta didik melalui pengajuan masalah;
3. Meningkatkan prestasi dan keaktifan siswa dalam pembelajaran melalui pengajuan dan pemecahan masalah;
4. Memotivasi peserta didik untuk belajar dan menyukai matematika; dan
5. Melatih peserta didik untuk mengomunikasikan ide-ide pengajuan masalah dan pemecahan masalah.
Sedangkan kelemahan model pembelajaran JUCAMA, antara lain:
1. Pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran JUCAMA membutuhkan waktu yang relatif lama; dan
2. Apabila siswa tidak memiliki minat tinggi, maka siswa akan kesulitan dalam mengajukan dan memecahkan masalah.

Referensi
Siswono (2008). Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif. Surabaya: Unesa University Press.

0 comments:

Posting Komentar

popcash