Filsafat Pendidikan Empirisme
Karya: Rizki Siddiq Nugraha
Empirisme adalah suatu aliran filsafat yang memberikan tekanan pada pengalaman sebagai pengetahuan. Menurut Susanto (2011, hlm. 37) “istilah empiris ini berasal dari kata Yunani, emperia yang berarti pengalaman indrawi”. “Empirisme bersumber dari filsafat Aristoteles yang menyatakan bahwa realitas adalah pada benda-benda konkret saja yang dapat dilihat, bukan pada ide sebagaimana pendapat Plato” (M. Arfan Mu’amar dan Abdul Wahid Hasan, 2012, hlm. 51). Menurut Muhammad Muslih (2005, hlm. 53) aliran empirisme “muncul di Inggris dipelopori Francis Bacon (1531-1626). Pada perkembangannya dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pasca Descartes, seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-1753), dan David Hume (1711-1776)”.
John Locke berpandangan tentang empirisme bahwa manusia pada awal dilahirkan di bumi ini diibaratkan seperti kertas putih, tidak memiliki kemampuan apapun. John Locke menyelidiki kemampuan pengetahuan manusia, sampai kemanakah ia dapat mencapai kebenaran, dan bagaimana mencapai hal tersebut. Ia mempergunakan istilah sensation dan reflection dalam upaya mencari kebenaran atas pengetahuan. Reflection merupakan pengenalan intuitif sedangkan sensation merupakan suatu yang memiliki hubungan dengan dunia luar tetapi tidak dapat meraihnya dan tidak dapat mengerti hal sesungguhnya. Setiap pengetahuan terjadi dari kerja sama antara reflection dan sensation. Namun, “harus dimulai dengan sensation sebab jiwa manusia waktu dilahirkan merupakan putih bersih, tabula rasa, tidak ada bekal dari siapa pun” (Poedjawijatna, 1990, hlm. 105).
Empirisme kemudian diteruskan oleh David Hume. Ia mengatakan bahwa bahwa “manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal yaitu kesan-kesan (impressions) dan pengertian-pengertian (ideas)” (Amsal Baktiar, 1997, hlm. 108). Impressionsatau kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah yang menampakkan diri dengan jelas, hidup, dan kuat seperti merasakan tangan terbakar. Sedangkan ideas adalah gambaran tentang pengamatan yang hidup, samar-samar yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau ter-refleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.
Jadi, empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika lahir.
Aliran empirisme menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung pada lingkungan, sedangkan pembawaan yang dibawanya sejak lahir tidak penting. Pengalaman yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitar. Pengalaman tersebut berupa stimulan-stimulan dari alam bebas maupun yang diciptakan oleh manusia dalam bentuk program pendidikan. Untuk itu, pendidik memegang peranan penting, sebab pendidik menyediakan lingkungan yang ideal, sedangkan anak akan menerima pendidikan sebagai pengalaman. Pengalaman tersebut akan membentuk tingkah laku, sikap, dan watak anak sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.
Filsafat pendidikan empirisme dipandang sebagai aliran yang sangat optimis terhadap pendidikan, sebab aliran ini hanya mementingkan peranan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Adapun kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dianggap tidak menentukan keberhasilan seseorang. Anggapan ini tentu patut dipertanyakan. Kenyataannya, akan ditemukan anak yang berhasil karena dirinya berbakat meskipun lingkungan sekitarnya tidak mendukung.
Apabila dapat disimpulkan, ajaran-ajaran pokok empiris dalam pendidikan, sebagai berikut:
1. Pandangan bahwa suatu ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
2. Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, bukan akal maupun rasio.
3. Semua yang kita ketahui pada akhirnya bersumber dari data inderawi.
4. Semua pengetahuan turun secara langsung, atau disimpulkan secara tidak langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran defisional logika dan matematika).
5. Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera. Akal budi bertugas untuk mengolah bahan yang diperoleh dari pengalaman.
6. Empirisme sebagai filsafat, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
Referensi
Baktiar, A. (1997). Filsafat Agama I. Jakarta: Logos.
Mu’amar, M. A., & Hasan, A. W. (2012). Studi Islam Perspektif Insider/Outsider. Yogyakarta: IRCiSoD.
Muslih, M. (2005). Filsafat Ilmu-ilmu. Yogyakarta: Belukar.
Poedjawijatna, I. R. (1990). Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.
Susanto (2011). Filsafat Ilmu (Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.
0 comments:
Posting Komentar